Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Kembali ke Aku, Menemukan Peran Baru

Setelah perjalanan panjang yang aku lalui, aku menulis untuk pulang. Pulangku berhenti di hari ke-25. Namun, saat aku menunggu, ternyata fase itu sudah berlalu. Sekarang aku tahu: aku harus menciptakan peran baru, setelah sebelumnya merasa kebingungan dengan siapa diriku sebenarnya. Dulu, aku hidup dengan dorongan untuk bertahan. Diperlukan. Diandalkan. Mengambil alih. Mengisi celah. Menyelamatkan yang hampir runtuh. Ternyata, itu semua adalah cara lama yang kujalani untuk merasa berarti. Aku tidak salah, aku hanya memakai cara bertahan yang kukenal. Tapi kini aku lelah. Dan kelelahan ini membawaku pada sesuatu yang baru. Aku tidak lagi ingin dikenal sebagai sosok kuat yang menanggung segalanya. Aku tidak ingin terus membuktikan diri agar dianggap lebih dari masa lalu. Aku ingin dikenal sebagai perempuan yang hadir utuh, tenang, dan ceria. Perempuan yang memilih hidupnya sendiri, bukan yang mencari pengakuan. Aku ingin menjadi pasangan yang benar-benar hadir, bukan sekadar berperan. Me...

Hari 25 – Menulis, dan Menemukan Jalan Pulang

Aku tidak ingat persis kapan semuanya mulai berubah. Yang jelas, awalnya aku ikut tantangan menulis ini hanya karena satu hal: aku butuh ruang. Tempat sederhana untuk meluapkan rasa yang selama ini kupendam sendiri. Aku butuh cara untuk bernapas di antara hari-hari yang terasa terlalu penuh, tapi juga terlalu sunyi. Hari-hari pertama terasa canggung. Ada perasaan malu—“curhat kok diposting?”—dan sedikit ragu, takut dianggap berlebihan. Tapi lama-lama, setiap kali kutekan tombol kirim, rasanya justru makin ringan. Bukan karena semua masalah mendadak lenyap, tapi karena aku mulai jujur pada diriku sendiri. Menulis perlahan menjadi cara untuk memetakan isi hati. Aku belajar mengenali emosi tanpa harus membuka luka terlalu lebar. Belajar bercerita tanpa harus menjelaskan segalanya. Yang mengejutkan, ternyata aku tidak sendirian. Ada banyak orang yang juga sedang mencari cara untuk pulih. Beberapa di antara mereka meninggalkan pesan: “Terima kasih ya. Aku merasa ditemani lewat tulisanmu.” I...

Hari 24 - Jeda di Tengah Badai

Di tengah derasnya badai yang mengguncang hidupku, aku akhirnya menemukan sebuah jeda—sebuah momen singkat yang memberiku kesempatan untuk berhenti sejenak dan bernapas. Jeda itu bukan tanda bahwa badai sudah berlalu sepenuhnya, tapi ruang kecil di antara gelombang yang memungkinkan aku menenangkan diri dan belajar hadir dalam keheningan. Sudah dua hari ini hidup terasa lebih tenang. Tidak ada konflik baru, tidak ada percakapan yang membuat dada sesak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa duduk tanpa harus bersiap menghadapi sesuatu yang menyakitkan. Rasanya aneh. Tapi juga melegakan. Aku terbiasa berjaga. Terbiasa hidup dengan alur yang cepat dan penuh gangguan. Terbiasa menenangkan diri dengan berkata, “ini cuma fase, nanti juga lewat.” Sekarang, saat benar-benar lewat, aku malah bingung harus ngapain. Ternyata, ketenangan juga butuh adaptasi. Tidak semua orang langsung nyaman dengan hening—apalagi setelah lama tinggal dalam badai. Tapi aku ingin belajar. Belajar berna...

Hari 23 - Pelan tapi Pasti: Belajar Dari Hati yang Jujur dan Tidak Sempurna

Kadang hidup membawa kita pada situasi yang berat dan membingungkan. Aku sering merasa lelah, terjebak dalam urusan yang tak kunjung usai, dan kadang lupa untuk memberi ruang bagi diriku sendiri. Di tengah segala tuntutan dan dinamika kehidupan sehari-hari, aku belajar bahwa tidak apa-apa untuk tidak sempurna. Kejujuran pada hati menjadi titik awal untuk bisa melangkah pelan tapi pasti. Beberapa waktu terakhir, aku menghadapi ujian sabar dan ketegasan, terutama soal hubungan dengan orang-orang terdekat dan masalah yang berulang dari masa lalu. Kadang aku merasa iri, capek, dan ingin menyerah, tapi aku ingat bahwa kehidupan yang damai dan harmonis bukan mimpi yang mustahil. Aku berusaha belajar berkata tegas tanpa kehilangan kasih sayang, dan belajar memberi batasan agar hidup lebih seimbang. Pelan-pelan aku mulai menyadari, bahwa kesabaran bukan berarti pasrah, tapi proses bertumbuh yang penuh harapan. Menerima ketidaksempurnaan diri sendiri adalah kunci untuk menemukan kedamaian. Mesk...

Hari 22 - Sunyi yang Penuh Suara

Rumah ini tak pernah benar-benar sunyi. Bahkan saat hanya ada dua orang duduk bersama tanpa sepatah kata, suara dari masa lalu yang belum tuntas selalu datang mengetuk. Menyusup lewat celah yang entah mengapa, tak pernah bisa tertutup rapat. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, menjadi panggung bagi percakapan yang menggantung dan perasaan yang tak tertampung. Bukan soal siapa memberi apa, atau siapa melanggar janji. Tapi tentang rasa percaya yang mulai rapuh oleh pengulangan kecil yang tak pernah dibahas tuntas. Ada yang mencoba memaafkan, tapi hati belum sepenuhnya lapang. Ada yang mencoba mengerti, tapi merasa tak dianggap. Salah satu dari kami merasa seperti figuran dalam cerita yang bahkan tak diminta untuk ikut menulis. Di balik semuanya, ada mereka yang tumbuh di antara dua dunia—di antara cinta yang ingin melindungi dan narasi yang menggiring pandangan dengan kacamata yang berat sebelah. Kami tahu, ini bukan tentang siapa yang lebih baik. Tapi tentang dua orang dewasa yan...

Hari 21 - Banjir kemarin di Tamini Square

Narasi ini sarat metafora. Yang merasa “kena”, barangkali memang sedang mengalami hal yang sama. Dan itu tidak apa-apa . Kemarin sore hujan turun deras sekali. Taman Mini banjir, katanya. Tapi banjir bukan cuma soal air yang meluap. Kadang ada aliran lain yang lebih senyap, tapi tak kalah deras. Yang datang dari arah yang tak selalu kita duga. Di sebuah rumah kecil yang sedang kuupayakan agar tetap berdiri tegak, air itu ikut masuk. Bukan lewat genteng yang bocor atau saluran yang tersumbat, tapi lewat celah yang tak kasatmata. Lewat diam yang panjang. Lewat kata yang tidak diucapkan dengan utuh. Lewat isyarat yang berubah menjadi ragu. Sudah lama kutahu, rumah ini dibangun di atas tanah yang tak sepenuhnya rata. Tapi aku mencintainya. Maka kutata pelan-pelan. Kukuatkan dinding-dindingnya, sambil terus menimbang: pagar ini sebaiknya setinggi apa? Aku percaya rumah tetap bisa hangat, selama kita tahu kapan membuka jendela, dan kapan menutup pintu. Tapi kemarin, air itu datang juga...

Hari 20 - Di Antara Batasan dan Responku yang Baru

Ada masanya aku merasa gagal karena masih saja menanggapi hal-hal yang harusnya sudah kulepas. Tapi hari ini aku menyadari, menanggapi bukan berarti mundur dari prinsip—kadang itu bagian dari prosesku mengenali respon yang berbeda. Batasan yang kutetapkan bukan tembok, melainkan pagar yang kujaga sambil belajar kapan harus membuka, dan kapan menutup kembali. Menjalani kehidupan tidak selalu hitam dan putih. Ada garis halus di antara mempertahankan diri dan memberi ruang untuk perubahan. Selama ini, aku sering merasa lelah karena terus terjebak dalam siklus reaksi yang sama—merespon dengan emosi yang sama, menghadapi situasi yang sama, dan akhirnya merasa stagnan. Namun, perjalanan ini mengajarkanku bahwa membangun batasan bukan hanya soal mengatakan “tidak” secara tegas, tetapi juga memahami kapan “iya” bisa menjadi langkah menuju kedewasaan emosional. Respon yang baru ini bukan berarti aku menyerah, melainkan aku memilih untuk lebih bijak. Aku mulai melihat bahwa dalam setiap interaks...

Hari 19 - Tirakat

Doa yang Tidak Terdengar, Tapi Didengar Pernahkah kamu berdoa dalam diam, berharap sesuatu yang tak pasti datang, tapi hanya diterima dalam kesabaran? Aku pernah. Ini bukan sekadar cerita tentang harapan yang belum terwujud, atau tentang luka yang tak kunjung sembuh. Ini adalah perjalanan aku dan pasanganku belajar mencinta dengan cara yang berbeda—mencinta tanpa syarat, melepaskan tanpa menyerah. Ada luka yang tidak pernah benar-benar sembuh, tapi justru mengantar kita pada cinta yang lebih dalam. Ada doa yang tak terucap dengan kata-kata, tapi mengalir lewat napas, lewat sabar, lewat langkah kaki yang tetap melangkah meski hati retak. Tirakat ini bukan tentang memohon diberi keturunan, bukan pula tentang menunggu budi baik kembali dengan kebaikan yang sama. Ini adalah tirakat sunyi—belajar menerima apa yang tak bisa diubah, mencinta tanpa mengharap balasan, dan percaya bahwa Tuhan bekerja diam-diam melewati luka, melewati sepi, melewati doa-doa yang tak selalu dijawab tapi selalu did...

Hari 18 - Tumbuh bersama

Hari ini terasa istimewa. Bukan karena segalanya berjalan sempurna, tetapi karena kita masih di sini—bersama. Menjalani hari-hari yang kadang penuh tawa, kadang sunyi. Kadang saling memahami, kadang saling bertanya-tanya. Tapi tetap, saling memilih. Ulang tahun pernikahan ini bukan tentang pesta besar, bukan pula tentang romantisme ala film. Ini tentang bagaimana kita bertahan, belajar, jatuh, bangkit, dan tetap melangkah berdua. Tentang bagaimana kita memeluk hari-hari biasa dengan rasa syukur, karena di balik rutinitas itu, ada cinta yang terus tumbuh, meski dalam diam. Menikah bukan soal menempuh jalan yang mulus, melainkan tentang saling menguatkan saat jalannya terjal dan berbatu. Kadang aku lupa, betapa banyak hal kecil yang telah kita lewati—senyum di tengah lelah, pelukan diam saat hari terasa berat, atau sekadar duduk berdampingan tanpa bicara. Mungkin terlihat sederhana, tapi justru di sanalah kehangatan tumbuh. Tahun demi tahun mungkin akan membawa tantangan baru, tapi aku m...

Hari 17 - Awal Cahaya

Perjalanan ini mulai terasa berbeda. Setelah sekian lama berlarian tanpa arah, akhirnya aku merasakan cahaya kecil yang perlahan menyinari jalan yang kutempuh. Bukan cahaya yang besar atau mencolok, tapi cukup untuk membuatku merasa lebih hidup dan lebih tenang. Aku mulai menyadari bahwa setiap langkah kecil yang kutempuh adalah bagian dari perjalanan pulang menuju diri sendiri. Perjalanan pulang menuju diri sendiri itu seperti pulang ke rumah setelah lama berkelana—menemukan kembali senyum yang sempat hilang dan merayakan setiap langkah kecil yang membawa kita lebih dekat pada kebahagiaan Mungkin aku sudah terlalu lama mencari di luar sana—mencari arti kebahagiaan atau kedamaian yang seharusnya sudah ada di dalam diri. Namun, setelah melewati banyak liku, aku baru menyadari bahwa semua yang aku butuhkan ada di sini, dalam diri ini. Aku tak lagi terjebak dalam keraguan atau kekhawatiran yang dulu sering menghalangi langkahku. Aku belajar untuk menikmati proses, untuk bisa tersenyum mes...

Hari 16 — Hadiah Tersembunyi

Awalnya aku menulis tentang luka, karena itulah yang aku rasakan. Rasanya perih, seperti ada yang hilang. Tapi seiring waktu, aku mulai melihatnya dari sisi yang berbeda. Luka itu ternyata tidak datang untuk menghancurkan, tapi membentuk. Ia tidak hanya meninggalkan bekas, tapi juga membuka ruang. Ruang untuk tumbuh, menerima, dan berdamai. Lalu aku sadar, mungkin “luka” terlalu kelam untuk menggambarkan proses yang justru membawaku pada versi terbaik dari diriku sendiri. Maka aku memilih kata yang lebih hangat, lebih menggambarkan makna sebenarnya: Hadiah tersembunyi. Karena begitulah rasanya kini—apa yang dulu menyakitkan, ternyata adalah anugerah yang menyamar. --- Hadiah Tersembunyi Tak semua hadiah datang dalam kotak indah. Ada yang hadir dalam bentuk kehilangan. Ada yang tiba lewat kecewa, diam, atau perpisahan yang tak sempat dijelaskan. Waktu itu terasa berat. Tapi kini, aku menyebutnya: Hadiah tersembunyi. Ia tak diundang, tapi menetap cukup lama untuk mengajarkanku banyak hal...

Hari 15 - Bertumbuh

Tumbuh ternyata bukan soal seberapa cepat aku bisa bangkit, tapi seberapa tulus aku mau berhenti sejenak dan melihat ke dalam. Menyapa diri yang letih, memeluk kecewa, dan menerima harapan yang tak selalu utuh. Ada masa di mana aku merasa tertinggal. Aku pernah begitu ingin kuat, begitu ingin “baik-baik saja” hanya agar dunia tidak melihat celah rapuhku. Tapi semakin aku menolak rasa sakit, semakin aku kehilangan diriku sendiri. Ternyata, menjadi kuat bukan berarti menolak luka, tapi berani menengoknya dan berkata, “Aku tahu kamu ada, tapi aku tetap berjalan.” Aku pernah menjadi asing di hidupku sendiri. Menjadi pemeran tambahan dalam cerita yang kujalani setiap hari. Tapi waktu—dan rasa sepi yang sunyi—mengajarkan bahwa perjalanan ini milikku, dan aku punya hak untuk hadir sepenuhnya di dalamnya. Pelan-pelan, aku belajar menghargai proses. Kadang capek, kadang bingung, tapi ternyata itu juga bagian dari tumbuh. Tidak semua hari harus cerah. Tidak semua langkah harus pasti. Tapi setiap...

Hari 14 - Memeluk diri sendiri

Terkadang, yang paling kita butuhkan bukanlah nasihat, bukan pula solusi—melainkan pelukan hangat dari dalam diri yang berkata lembut: nggak apa-apa, aku di sini. Ada hari-hari ketika dunia terasa jauh. Aku hadir, tapi seolah tak terlihat. Suara-suara di sekeliling ramai, tapi tak satu pun benar-benar mendengarku. Aku lelah, tapi bingung harus bersandar ke mana. Di hari-hari seperti itu, aku pelan-pelan belajar: bahwa pelukan paling tulus sering kali tak datang dari luar, melainkan dari dalam diri. Bukan pelukan yang membesarkan, tapi yang mengakui—bahwa aku sedang lelah, sedang bingung, sedang rapuh… dan itu tidak apa-apa. Memeluk diri bukan tentang menjadi bijak sepenuhnya atau pandai menghibur diri dengan cara yang benar. Ia hadir dalam bentuk yang sederhana—dan kadang, tak ideal. Dalam sebotol GoodDay cappuccino yang kubuka perlahan, meski berkali-kali berjanji akan menguranginya. Dalam semangkuk samyang pedas yang kucari saat pikiran terasa kusut. Dalam upaya belajar menyukai sebl...

Hari 13 - Aku yang tak terlihat

Mungkin aku sempat tak terlihat, bahkan oleh diriku sendiri. Tapi aku sedang belajar menoleh ke cermin dengan lebih lembut Ada masa-masa di mana aku hadir, tapi tak benar-benar ada. Berjalan, berbicara, dan berinteraksi seperti biasa—namun di dalam, aku hilang arah. Aku terlalu sibuk menjadi apa yang diharapkan orang lain, hingga lupa menjadi diriku sendiri. Aku belajar mendengarkan semua suara, kecuali suara dari dalam dada. Aku menyelami luka orang lain, tapi menyingkir dari luka sendiri. Hingga suatu hari aku tersadar, bahwa aku telah berjalan terlalu jauh dari diriku sendiri. Aku kehilangan jejak pulang, ke dalam. Menjadi tak terlihat oleh orang lain memang menyakitkan, tapi menjadi tak terlihat oleh diri sendiri jauh lebih sunyi. Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai mengabaikan isi hatiku. Yang kutahu, aku merasa kosong, padahal sedang penuh oleh sesuatu yang tak bisa dinamai. Kini, aku perlahan belajar menoleh. Mencari serpih-serpih diriku yang tercecer di sepanjang perjalanan...

Hari 12 - Orang yang mengubah pandanganku

Aku kepada aku, dengan ibu sebagai cahaya yang tak padam. Ada orang-orang yang datang dan pergi, tapi ada juga yang tetap hidup dalam cara kita melihat dunia. Ibu, meskipun sudah berpulang, tetap mengajariku cara memandang hidup dengan lembut dan penuh kekuatan. Dulu, aku pikir menjadi kuat adalah tentang tidak menangis, tentang menahan beban sendiri tanpa bersuara. Tapi ibu, dengan keteduhan sikapnya, mengajarkanku bahwa kekuatan justru terletak dalam keberanian untuk merasakan, dalam keikhlasan menerima, dan dalam kesabaran menjalani. Kini, saat aku berjalan sendiri melewati banyak ketidakpastian, aku sering memeluk diriku sendiri seperti ibu dulu memelukku saat kecil. Dalam keheningan, aku menyadari bahwa ternyata, aku pun telah menjadi seseorang yang mengubah pandanganku sendiri. Aku yang dulu hanya ingin bertahan, kini perlahan belajar untuk hidup sepenuhnya — meski masih terluka, meski masih belajar. Bu, Hari ini aku menuliskan ini sambil mengingat wajahmu—hangat, teduh, dan sela...

Hari 11 - Bahasa Sunyi

Ada hari-hari di mana mulutku tak mengucap apa-apa, tapi hatiku riuh oleh suara-suara yang tak bisa kupilih satu pun untuk diungkapkan. Hari ini, aku bicara dengan caraku sendiri—dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau benar-benar mendengarkan: bahasa sunyi. Bahasa sunyi bukanlah kekosongan. Ia adalah gema dari perasaan yang terlalu penuh untuk ditata dalam kalimat. Ia adalah air mata yang tak jatuh, tapi menggantung di ujung kelopak. Adalah punggung yang membelakangi, bukan karena benci… tapi karena butuh ruang untuk bernapas. Adalah tangan yang tetap menyelesaikan pekerjaan rumah, walau hati sedang berkabut. Adalah tatapan kosong ke luar jendela, saat pikiranku sibuk menyusun ulang keberanian. Ketika aku diam, yang sebenarnya ingin kusampaikan adalah: "Aku sedang mencoba memahami semuanya sebelum aku runtuh." "Bisakah kamu dekat, tanpa menghakimi, tanpa memaksa kata?" Kini, aku tidak lagi takut pada diam. Bahasa sunyiku tidak ker...

Hari 10 - Diri yang Lama, Diri yang Baru

Kadang aku merindukan diriku yang dulu.  Tapi aku juga melihat diriku yang sekarang. Yang tidak mudah percaya, tapi lebih bijak menimbang. Yang tidak lagi ingin menyenangkan semua orang, tapi mulai tahu mana yang penting untuk disenangkan—termasuk diriku sendiri. Dulu aku ingin dimengerti. Sekarang aku ingin belajar memahami, termasuk pada luka-luka yang membentukku hari ini. Perjalanan ini mengubahku. Bukan untuk jadi orang lain, tapi agar aku bisa pulang ke versi terbaik dari diriku sendiri. Bukan yang sempurna, tapi yang lebih sadar, lebih kuat, dan lebih jujur pada apa yang kurasa. Dan jika suatu hari nanti aku bertemu dengan diriku yang dulu, aku akan menggenggam tangannya, lalu berkata, "Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Sekarang, biar aku yang melanjutkan." Untuk Diriku yang Baru, Hai, kamu tak lagi sama. Ada goresan, ada pelajaran. Tapi juga ada keberanian baru yang tumbuh. Kamu belajar berkata tidak. Belajar diam saat tidak perlu menjelaskan. Belajar menata ula...