Hari 24 - Jeda di Tengah Badai

Di tengah derasnya badai yang mengguncang hidupku, aku akhirnya menemukan sebuah jeda—sebuah momen singkat yang memberiku kesempatan untuk berhenti sejenak dan bernapas. Jeda itu bukan tanda bahwa badai sudah berlalu sepenuhnya, tapi ruang kecil di antara gelombang yang memungkinkan aku menenangkan diri dan belajar hadir dalam keheningan.

Sudah dua hari ini hidup terasa lebih tenang. Tidak ada konflik baru, tidak ada percakapan yang membuat dada sesak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa duduk tanpa harus bersiap menghadapi sesuatu yang menyakitkan. Rasanya aneh. Tapi juga melegakan.

Aku terbiasa berjaga. Terbiasa hidup dengan alur yang cepat dan penuh gangguan. Terbiasa menenangkan diri dengan berkata, “ini cuma fase, nanti juga lewat.” Sekarang, saat benar-benar lewat, aku malah bingung harus ngapain.

Ternyata, ketenangan juga butuh adaptasi. Tidak semua orang langsung nyaman dengan hening—apalagi setelah lama tinggal dalam badai. Tapi aku ingin belajar. Belajar bernafas tanpa terburu-buru. Belajar mendengar tanpa harus membela diri. Belajar tidur nyenyak tanpa takut ada yang datang mengetuk hati dengan luka baru.

Aku tahu ini mungkin bukan akhir dari segalanya. Bisa saja badai datang lagi suatu hari nanti. Tapi untuk sekarang, aku ingin memberi ruang bagi diriku sendiri. Untuk istirahat. Untuk sembuh. Untuk sekadar ada.

Mungkin hidup yang tenang bukan berarti hidup tanpa masalah, tapi hidup yang tidak lagi membuatku merasa sendirian saat menghadapi semuanya. Dan hari ini, aku bersyukur bisa punya jeda. Meskipun singkat, aku ingin memeluk tenang ini erat-erat.

Terima kasih, hari ini, karena tidak memberi beban apa-apa. Terima kasih untuk pagi yang biasa saja, siang yang sunyi, dan malam yang tidak memaksa apa pun.

Aku ingin belajar mengenali diriku dalam versi yang lebih lembut. Versi yang tidak lagi hanya hidup dalam mode bertahan, tapi juga mampu tumbuh—pelan-pelan, tanpa tekanan, dan dengan cara yang manusiawi.

Jeda di tengah badai ini mengajarkanku bahwa ketenangan bukanlah sebuah tujuan akhir, melainkan sebuah proses yang harus terus kujalani. Meski badai mungkin datang lagi, aku kini tahu bahwa aku punya ruang dalam diriku—sebuah tempat untuk beristirahat, untuk sembuh, dan untuk tumbuh. Dan saat badai kembali, aku siap kembali ke jeda ini, dan bernafas dengan damai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari 2 — Satu Tempat yang Membekas di Hati

Halo, Ini Aku

Hari 1 - Mengapa aku menulis