Hari 22 - Sunyi yang Penuh Suara

Rumah ini tak pernah benar-benar sunyi. Bahkan saat hanya ada dua orang duduk bersama tanpa sepatah kata, suara dari masa lalu yang belum tuntas selalu datang mengetuk. Menyusup lewat celah yang entah mengapa, tak pernah bisa tertutup rapat.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, menjadi panggung bagi percakapan yang menggantung dan perasaan yang tak tertampung. Bukan soal siapa memberi apa, atau siapa melanggar janji. Tapi tentang rasa percaya yang mulai rapuh oleh pengulangan kecil yang tak pernah dibahas tuntas.

Ada yang mencoba memaafkan, tapi hati belum sepenuhnya lapang. Ada yang mencoba mengerti, tapi merasa tak dianggap. Salah satu dari kami merasa seperti figuran dalam cerita yang bahkan tak diminta untuk ikut menulis.

Di balik semuanya, ada mereka yang tumbuh di antara dua dunia—di antara cinta yang ingin melindungi dan narasi yang menggiring pandangan dengan kacamata yang berat sebelah.

Kami tahu, ini bukan tentang siapa yang lebih baik. Tapi tentang dua orang dewasa yang sedang belajar untuk tetap kuat, tanpa harus saling melukai. Belajar bahwa mencintai bukan berarti menuruti semua, dan memaafkan bukan berarti melupakan harga diri.

Kami belajar bahwa musuh kami bukan satu sama lain, melainkan pola lama yang berulang. Luka-luka yang diwariskan tanpa niat. Dan kebiasaan untuk mengalah demi menjaga keseimbangan yang rapuh, tanpa sadar menyingkirkan kebahagiaan sendiri.

Hari ini, kami mencoba cara baru untuk bertahan. Bukan dengan diam, tapi dengan menarik satu sama lain agar tetap berpijak—meski dunia di sekitar kami tak pernah benar-benar tenang.

Meski dunia tak pernah benar-benar tenang, kami belajar menari dalam irama yang kami ciptakan sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari 2 — Satu Tempat yang Membekas di Hati

Halo, Ini Aku

Hari 1 - Mengapa aku menulis