Hari 21 - Banjir kemarin di Tamini Square
Narasi ini sarat metafora. Yang merasa “kena”, barangkali memang sedang mengalami hal yang sama. Dan itu tidak apa-apa.
Kemarin sore hujan turun deras sekali. Taman Mini banjir, katanya.
Tapi banjir bukan cuma soal air yang meluap. Kadang ada aliran lain yang lebih senyap, tapi tak kalah deras. Yang datang dari arah yang tak selalu kita duga.
Di sebuah rumah kecil yang sedang kuupayakan agar tetap berdiri tegak, air itu ikut masuk. Bukan lewat genteng yang bocor atau saluran yang tersumbat, tapi lewat celah yang tak kasatmata.
Lewat diam yang panjang. Lewat kata yang tidak diucapkan dengan utuh. Lewat isyarat yang berubah menjadi ragu.
Sudah lama kutahu, rumah ini dibangun di atas tanah yang tak sepenuhnya rata. Tapi aku mencintainya. Maka kutata pelan-pelan. Kukuatkan dinding-dindingnya, sambil terus menimbang: pagar ini sebaiknya setinggi apa?
Aku percaya rumah tetap bisa hangat, selama kita tahu kapan membuka jendela, dan kapan menutup pintu.
Tapi kemarin, air itu datang juga. Membawa endapan yang tak bisa langsung disapu bersih. Ia menyusup diam-diam, lalu meninggalkan jejak di sudut-sudut yang pernah terasa teduh.
Bukan karena sesuatu yang besar, mungkin hanya karena sesuatu yang tak disepakati. Tapi seperti hujan deras yang datang tiba-tiba, suara itu membuat segalanya berubah jadi gaduh.
Katanya, aku terlalu sering menata.
Padahal aku cuma ingin rumah ini tidak mudah kebanjiran.
Malam itu aku terjaga. Bukan karena hujan di luar, tapi karena riuh di dalam yang tak kunjung reda. Lalu aku sadar, rumah ini memang rawan. Tapi mungkin memang begitu adanya rumah—selalu butuh dijaga, meski tak selalu dipahami.
Hari ini, airnya mulai surut. Tapi beberapa genangan masih tertinggal.
Aku tetap di sini. Mengeringkan lantai. Membereskan apa yang bisa dibereskan.
Karena meski ringkih, rumah ini tetap tempatku pulang.
Dan aku ingin ia tetap berdiri.
Kemarin sore hujan turun deras sekali. Taman Mini banjir, katanya.
Tapi banjir bukan cuma soal air yang meluap. Kadang ada aliran lain yang lebih senyap, tapi tak kalah deras. Yang datang dari arah yang tak selalu kita duga.
Di sebuah rumah kecil yang sedang kuupayakan agar tetap berdiri tegak, air itu ikut masuk. Bukan lewat genteng yang bocor atau saluran yang tersumbat, tapi lewat celah yang tak kasatmata.
Lewat diam yang panjang. Lewat kata yang tidak diucapkan dengan utuh. Lewat isyarat yang berubah menjadi ragu.
Sudah lama kutahu, rumah ini dibangun di atas tanah yang tak sepenuhnya rata. Tapi aku mencintainya. Maka kutata pelan-pelan. Kukuatkan dinding-dindingnya, sambil terus menimbang: pagar ini sebaiknya setinggi apa?
Aku percaya rumah tetap bisa hangat, selama kita tahu kapan membuka jendela, dan kapan menutup pintu.
Tapi kemarin, air itu datang juga. Membawa endapan yang tak bisa langsung disapu bersih. Ia menyusup diam-diam, lalu meninggalkan jejak di sudut-sudut yang pernah terasa teduh.
Bukan karena sesuatu yang besar, mungkin hanya karena sesuatu yang tak disepakati. Tapi seperti hujan deras yang datang tiba-tiba, suara itu membuat segalanya berubah jadi gaduh.
Katanya, aku terlalu sering menata.
Padahal aku cuma ingin rumah ini tidak mudah kebanjiran.
Malam itu aku terjaga. Bukan karena hujan di luar, tapi karena riuh di dalam yang tak kunjung reda. Lalu aku sadar, rumah ini memang rawan. Tapi mungkin memang begitu adanya rumah—selalu butuh dijaga, meski tak selalu dipahami.
Hari ini, airnya mulai surut. Tapi beberapa genangan masih tertinggal.
Aku tetap di sini. Mengeringkan lantai. Membereskan apa yang bisa dibereskan.
Karena meski ringkih, rumah ini tetap tempatku pulang.
Dan aku ingin ia tetap berdiri.
Komentar
Posting Komentar