Hari 11 - Bahasa Sunyi
Ada hari-hari di mana mulutku tak mengucap apa-apa,
tapi hatiku riuh oleh suara-suara yang tak bisa kupilih satu pun untuk diungkapkan.
Hari ini, aku bicara dengan caraku sendiri—dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau benar-benar mendengarkan: bahasa sunyi.
Bahasa sunyi bukanlah kekosongan.
Ia adalah gema dari perasaan yang terlalu penuh untuk ditata dalam kalimat.
Ia adalah air mata yang tak jatuh, tapi menggantung di ujung kelopak.
Adalah punggung yang membelakangi, bukan karena benci… tapi karena butuh ruang untuk bernapas.
Adalah tangan yang tetap menyelesaikan pekerjaan rumah, walau hati sedang berkabut.
Adalah tatapan kosong ke luar jendela, saat pikiranku sibuk menyusun ulang keberanian.
Ketika aku diam, yang sebenarnya ingin kusampaikan adalah:
"Aku sedang mencoba memahami semuanya sebelum aku runtuh."
"Bisakah kamu dekat, tanpa menghakimi, tanpa memaksa kata?"
Kini, aku tidak lagi takut pada diam.
Bahasa sunyiku tidak keras, tidak memohon untuk dimengerti. Ia hanya hadir.
Ia bukan bentuk penghindaran, bukan pula penolakan.
Ia adalah ruang—bagi perasaanku untuk menyusun dirinya sendiri, satu demi satu,
agar tidak meledak sembarangan.
Diamku bukan jarak,
tapi jeda.
Jeda untuk mengenali rasa, menata luka, dan menerima bahwa tidak semua harus segera sembuh.
Kadang, cukup dengan hadir dan diam bersama, kita sudah saling bicara.
tapi hatiku riuh oleh suara-suara yang tak bisa kupilih satu pun untuk diungkapkan.
Hari ini, aku bicara dengan caraku sendiri—dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang mau benar-benar mendengarkan: bahasa sunyi.
Bahasa sunyi bukanlah kekosongan.
Ia adalah gema dari perasaan yang terlalu penuh untuk ditata dalam kalimat.
Ia adalah air mata yang tak jatuh, tapi menggantung di ujung kelopak.
Adalah punggung yang membelakangi, bukan karena benci… tapi karena butuh ruang untuk bernapas.
Adalah tangan yang tetap menyelesaikan pekerjaan rumah, walau hati sedang berkabut.
Adalah tatapan kosong ke luar jendela, saat pikiranku sibuk menyusun ulang keberanian.
Ketika aku diam, yang sebenarnya ingin kusampaikan adalah:
"Aku sedang mencoba memahami semuanya sebelum aku runtuh."
"Bisakah kamu dekat, tanpa menghakimi, tanpa memaksa kata?"
Kini, aku tidak lagi takut pada diam.
Bahasa sunyiku tidak keras, tidak memohon untuk dimengerti. Ia hanya hadir.
Ia bukan bentuk penghindaran, bukan pula penolakan.
Ia adalah ruang—bagi perasaanku untuk menyusun dirinya sendiri, satu demi satu,
agar tidak meledak sembarangan.
Diamku bukan jarak,
tapi jeda.
Jeda untuk mengenali rasa, menata luka, dan menerima bahwa tidak semua harus segera sembuh.
Kadang, cukup dengan hadir dan diam bersama, kita sudah saling bicara.
Komentar
Posting Komentar