Hari 14 - Memeluk diri sendiri
Terkadang, yang paling kita butuhkan bukanlah nasihat, bukan pula solusi—melainkan pelukan hangat dari dalam diri yang berkata lembut: nggak apa-apa, aku di sini.
Ada hari-hari ketika dunia terasa jauh. Aku hadir, tapi seolah tak terlihat. Suara-suara di sekeliling ramai, tapi tak satu pun benar-benar mendengarku. Aku lelah, tapi bingung harus bersandar ke mana.
Di hari-hari seperti itu, aku pelan-pelan belajar: bahwa pelukan paling tulus sering kali tak datang dari luar, melainkan dari dalam diri.
Bukan pelukan yang membesarkan, tapi yang mengakui—bahwa aku sedang lelah, sedang bingung, sedang rapuh… dan itu tidak apa-apa.
Memeluk diri bukan tentang menjadi bijak sepenuhnya atau pandai menghibur diri dengan cara yang benar.
Ia hadir dalam bentuk yang sederhana—dan kadang, tak ideal.
Dalam sebotol GoodDay cappuccino yang kubuka perlahan, meski berkali-kali berjanji akan menguranginya.
Dalam semangkuk samyang pedas yang kucari saat pikiran terasa kusut.
Dalam upaya belajar menyukai seblak, hanya karena ingin ada rasa saat hari terasa hambar.
Mungkin bukan bentuk cinta diri yang sehat dalam definisi textbook,
Tapi itu caraku berkata: “Aku masih ingin merawatmu. Mungkin belum sempurna, tapi aku ingin kau tahu—kau tidak sendiri.”
Ada luka yang tak ingin kuceritakan pada siapa pun.
Ada tangis yang kutahan agar tak mengganggu siapa-siapa.
Ada kecewa yang kutelan diam-diam, karena merasa tak pantas untuk didengar.
Tapi semakin aku menyembunyikannya, semakin aku terasa asing pada diriku sendiri.
Lalu aku mengerti—bukan orang lain yang harus lebih dulu memahami, tapi aku.
Aku yang perlu hadir. Aku yang harus jujur. Aku yang perlu berani duduk di sebelah rasa sakit itu, tanpa mengusirnya.
Aku yang harus berkata:
“Kamu boleh tidak baik-baik saja. Aku tetap di sini bersamamu.”
Hari ini, aku tak lagi menunggu dunia mengerti.
Aku hanya meletakkan tangan di dada, menarik napas panjang, dan berkata pelan:
Aku di sini. Aku tidak akan pergi. Untuk hari ini, itu cukup.
Komentar
Posting Komentar