Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

Hari 9 — Belajar dari Rasa Tidak Nyaman

Ada masa ketika aku merasa asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah. Bukan karena tidak dicintai, tapi karena banyak hal yang membuatku merasa tidak utuh. Rasa tidak nyaman itu tumbuh perlahan, seperti bisik yang menyesakkan. Dan aku tidak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Tinggal di lingkungan masa lalu suami bukan perkara mudah. Di setiap sudut langkahku, ada jejak kenangan yang bukan milikku. Ada tatapan yang seolah mempertanyakan keberadaanku. Kadang, aku merasa seperti hanya penonton dalam cerita yang telah dimulai jauh sebelum aku hadir. Aku mencoba tersenyum, menyesuaikan diri—namun dalam diam, aku sering merasa kecil dan terasing. Tapi dari sanalah aku mulai bertanya: Apa yang sebenarnya aku cari? Apa yang membuatku bertahan? Dan perlahan, aku menemukan jawabannya: aku ingin pulih. Aku ingin belajar mengakar, meski tanahnya terasa asing. Aku belajar bahwa tidak semua ruang harus nyaman untuk menjadi tempat bertumbuh. Kadang justru dari tempat yang membu...

Melihat diri dengan mata yang baru

Sering kali kita terjebak dalam cara pandang lama tentang diri sendiri, terkurung dalam penilaian atau standar yang dibuat oleh orang lain. Namun, bagaimana jika kita berani melihat diri dari perspektif yang berbeda? Perspektif yang lebih jujur dan penuh kasih. Dalam perjalanan ini, aku berusaha untuk membuka mata dan hati, mencari sisi baru dari diri yang selama ini mungkin terabaikan. Hari 8 Dalam diam, aku belajar memahami Sebuah perjalanan kecil dalam memahami: bahwa kadang, luka yang paling dalam pun memilih diam. Ada masa-masa ketika aku merasa sendiri, merasa tidak dianggap. Sedih, kecewa, dan bertanya-tanya dalam hati: apa aku tidak cukup berarti? Tapi dalam riuhnya perasaan itu, perlahan aku mulai melihat sesuatu yang sebelumnya luput dari mataku. Bahwa diamnya seseorang, dinginnya sikap, tidak selalu berarti tak peduli. Kadang, diam adalah cara paling sunyi untuk bertahan. Suamiku, dengan segala lukanya yang tersembunyi, mengajarkanku satu hal penting: bahwa yang sakit bukan ...

Hari 7 — Tentang Harapan Kecil yang Masih Kusimpan Diam-diam

Aku tak banyak berharap pada dunia akhir-akhir ini. Terlalu sering kecewa membuatku berhati-hati menaruh doa. Tapi tetap saja, ada harapan-harapan kecil yang kusembunyikan di balik senyum, di antara aktivitas harian yang terlihat biasa saja. Harapanku sederhana: aku ingin punya rumah yang benar-benar terasa rumah. Bukan hanya bangunan untuk berteduh, tapi ruang yang tidak dibayangi masa lalu siapa pun. Tempat di mana aku bisa menanam pohon, menggantung jemuran tanpa merasa dilihat, menyeduh kopi tanpa menahan napas karena takut salah gerak. Tempat yang bisa jadi saksi dari damainya aku yang baru, bukan bayangan aku yang sedang bertahan. Kadang harapan itu muncul saat aku menyuapi murai-murai kecil bersama suamiku, sebelum dan sepulang kerja. Atau saat aku menyusun menu mingguan, seolah hanya dengan dua piring, aku sedang menciptakan kebiasaan hangat di tengah sepinya rumah. Di antara lelah dan rutinitas, aku sedang membangun harapan: bahwa ini semua tidak sia-sia. Aku tahu, mungkin tid...

Hari 6 — Tentang Rasa yang Sulit Kuceritakan ke Siapa-siapa

Ada rasa yang tinggal begitu lama dalam dada. Bukan karena tak ada yang mau mendengarkan, tapi karena aku sendiri tak tahu harus mulai dari mana. Rasa ini seperti kabut—lembut, tak terlihat, tapi membuat pandangan jadi samar dan langkah terasa berat. Tinggal di lingkungan masa lalu suamiku adalah ujian sunyi yang tak banyak orang tahu. Semua terasa penuh bayang-bayang, sisa cerita yang tak melibatkan aku, tapi aku harus tetap berjalan di dalamnya. Aku mencoba mengisi ruang itu dengan cinta, dengan ketulusan, dengan merawat dan hadir. Tapi ada hari-hari di mana aku merasa seperti tamu yang tak benar-benar diundang. Aku lelah menjadi kuat. Tapi aku juga takut terlihat rapuh. Maka kutanam semua rasa itu dalam-dalam. Kadang keluar dalam bentuk diam, kadang dalam tawa yang sedikit dipaksakan, kadang dalam proyek-proyek kecil di dapur atau halaman belakang yang kuanggap sebagai pelarian yang elegan. Namun diam-diam, aku belajar mengenali diriku sendiri lebih dalam. Aku belajar membedakan ant...

Hari 5 — Hal-Hal Kecil yang Diam-Diam Menolongku Bertahan

Beberapa orang mungkin akan melihat hidupku dan mengira semuanya biasa saja. Tapi mereka tak tahu, ada perjuangan kecil yang terus kulakukan, hanya agar aku tetap merasa hidup. Setiap pagi sebelum kerja, aku dan suamiku memberi makan burung-burung. Murai-murai kecil itu bernyanyi riang, seakan mereka tahu, bahwa pagi-pagi begini kami butuh pengingat bahwa hidup masih punya warna. Sepulang kerja, tubuhku lelah. Tapi hatiku tahu, aku tak bisa diam terlalu lama. Maka kuluangkan waktu untuk food prep, membuat meal plan walau hanya untuk kami berdua. Bukan karena harus, tapi karena merawat rumah ini, adalah juga caraku merawat diriku sendiri. Kadang aku tertawa sendiri. Betapa lucunya kami repot-repot membuat proyek kecil di dapur atau kamar mandi — hanya untuk mengisi ruang yang kadang terasa kosong. Tapi di situlah aku belajar: luka tak selalu disembuhkan dengan menangis. Kadang, ia sembuh saat kita sibuk menanam cinta pada hal-hal kecil. Aku bekerja, tapi jiwaku tahu, rumah ini perlu dis...

Hari 4 — Satu Orang yang Diam-Diam Menjadi Sumber Kuatku

Ada satu sosok yang selalu terlintas di pikiranku, terutama di hari-hari ketika aku merasa tidak kuat lagi: diriku sendiri di masa lalu. Bukan karena aku tidak punya orang lain untuk diandalkan. Bukan juga karena aku ingin terlihat hebat. Tapi karena aku tahu, satu-satunya orang yang benar-benar mengerti semua luka, semua jalan terjal, semua air mata yang jatuh dalam diam — adalah aku sendiri. Aku teringat versi diriku yang dulu: yang pernah tersenyum di tengah kegagalan, yang tetap bangun dan berjalan meski semua terasa sia-sia, yang pernah berjanji diam-diam di dalam hati, "Kita harus bertahan, apa pun yang terjadi." Dan hari ini, saat aku nyaris ingin menyerah, aku kembali memanggil dia — diriku sendiri yang dulu. Aku berkata dalam hati, "Terima kasih sudah bertahan sejauh ini. Kalau kamu bisa melewati hari-hari itu, aku yakin kita bisa melewati hari ini juga." Kadang, kekuatan itu tidak datang dari luar. Kadang, kekuatan itu datang dari kita — dari luka yang sud...

Hari 3 — Satu Hal Kecil yang Membuatku Bertahan

Hari ini, aku menemukan kekuatanku dari sesuatu yang sangat sederhana: sebuah sapaan hangat dari orang yang bahkan tidak benar-benar mengenalku dekat. Di antara hari-hari yang terasa berat, di tengah rasa asing yang kadang membuatku ingin menyerah, ada satu kalimat sederhana: "Semangat ya, kamu hebat sudah sampai di titik ini." Kalimat itu tidak mengubah dunia. Tidak menghapus semua luka. Tapi anehnya, itu cukup untuk membuatku ingin bertahan satu hari lagi. Aku belajar bahwa kekuatan itu tidak selalu datang dari pelukan besar, dari keajaiban, atau dari perubahan besar yang tiba-tiba datang. Kadang, kekuatan datang dari hal-hal yang mungkin bagi orang lain tampak sepele — tapi bagiku, cukup untuk menguatkan langkah kecilku. Hari ini aku ingin berterima kasih, untuk semua hal kecil yang mungkin tidak pernah disadari oleh siapa pun, tapi diam-diam menyelamatkanku. Aku ingin belajar melihat lebih banyak keajaiban-keajaiban kecil di setiap hariku. Karena mungkin, hidup bukan tent...

Hari 2 — Satu Tempat yang Membekas di Hati

Ada tempat yang dulu membuatku merasa "hidup", tapi hidup ternyata bukan hanya tentang nyaman. Ada masa di mana aku harus belajar berjalan di atas tanah yang asing, di lingkungan yang seolah-olah bukan milikku sendiri. Saat ini, aku tinggal di tempat yang penuh dengan bayang-bayang masa lalu suamiku. Tempat di mana setiap sudutnya terasa seperti mengingatkanku: bahwa aku datang "belakangan", bahwa ada cerita lain yang duluan hadir sebelum aku. Jujur, ini bukan tempat yang nyaman. Kadang aku merasa asing di antara keramaian. Kadang aku merasa lelah menjadi bagian dari cerita yang bukan aku yang mulai. Tapi dari ketidaknyamanan ini, aku belajar banyak hal: Aku belajar berdiri lebih tegak untuk diriku sendiri. Aku belajar bahwa mencintai seseorang, kadang berarti menerima bukan hanya dirinya, tapi juga dunia yang pernah menjadi bagiannya. Aku tahu, aku mungkin tidak akan pernah benar-benar "milik" tempat ini. Tapi aku bisa memilih untuk tetap tumbuh di dalamn...

Hari 1 - Mengapa aku menulis

Terkadang, dunia bergerak terlalu cepat, dan kita lupa mendengar suara sendiri. Lewat tulisan ini, aku mencoba melambat. Mendengar kembali langkahku sendiri. Merekam ulang rasa yang kadang terabaikan. Mungkin kamu juga pernah merasa begitu. Kalau iya, mungkin tulisan-tulisan ini bisa jadi teman perjalananmu sebentar Hari 1 — Mengapa Aku Menulis Ada banyak hal dalam hidup ini yang sulit kujelaskan dengan kata-kata lisan. Kadang perasaan itu terlalu dalam, terlalu rumit, atau terlalu rapuh untuk sekadar diucapkan. Maka aku menulis. Bukan untuk membuat segalanya sempurna, tapi untuk memberi ruang bagi diriku sendiri. Menulis adalah caraku merawat rasa, memahami luka, merayakan langkah kecil yang mungkin terlihat biasa saja di mata dunia — tapi besar artinya untukku. Setiap huruf yang kutuliskan adalah benang kecil yang menghubungkan aku dengan diriku sendiri. Kadang aku tersesat, kadang aku berhenti, tapi lewat tulisan, aku selalu punya jalan untuk pulang. Menulis membuatku ingat: aku hid...

Halo, Ini Aku

Selamat datang di tempat kecil ini, Aku membuat blog ini untuk menyimpan jejak-jejak langkahku. Tentang perjalanan, tentang rasa yang kadang sulit diucapkan, tentang luka yang kadang diam-diam sembuh dengan caranya sendiri Namanya Menulis untuk Pulang, karena buatku.. setiap kata yang kutulis adalah usaha untuk menemukan diriku kembali.  Di sini mungkin kamu akan menemukan cerita tentang solo trip, hari-hari sederhana, curahan perasaan yang datang tanpa aba-aba, bahkan potongan gambar yang kuabadikan dalam perjalanan. Aku tidak menulis untuk menjadi hebat. Aku menulis supaya aku tidak lupa ~ bahwa aku pernah berjalan sejauh ini. Terima kasih sudah datang. semoga kamu betah singgah di sini, di antara luka dan langkahku yang tak pernah berhenti. Dengan hangat, Aku