Hari 7 — Tentang Harapan Kecil yang Masih Kusimpan Diam-diam
Aku tak banyak berharap pada dunia akhir-akhir ini. Terlalu sering kecewa membuatku berhati-hati menaruh doa. Tapi tetap saja, ada harapan-harapan kecil yang kusembunyikan di balik senyum, di antara aktivitas harian yang terlihat biasa saja.
Harapanku sederhana: aku ingin punya rumah yang benar-benar terasa rumah.
Bukan hanya bangunan untuk berteduh, tapi ruang yang tidak dibayangi masa lalu siapa pun. Tempat di mana aku bisa menanam pohon, menggantung jemuran tanpa merasa dilihat, menyeduh kopi tanpa menahan napas karena takut salah gerak. Tempat yang bisa jadi saksi dari damainya aku yang baru, bukan bayangan aku yang sedang bertahan.
Kadang harapan itu muncul saat aku menyuapi murai-murai kecil bersama suamiku, sebelum dan sepulang kerja. Atau saat aku menyusun menu mingguan, seolah hanya dengan dua piring, aku sedang menciptakan kebiasaan hangat di tengah sepinya rumah. Di antara lelah dan rutinitas, aku sedang membangun harapan: bahwa ini semua tidak sia-sia.
Aku tahu, mungkin tidak akan segera terwujud. Tapi aku tetap menjaganya, karena harapan ini yang membuatku bangun tiap pagi. Ia tidak besar, tapi cukup untuk membuatku ingin pulang. Cukup untuk membuatku percaya bahwa aku layak punya ruang yang damai — luar dan dalam.
Dan kalau pun harapan ini tak pernah jadi nyata, biarlah ia tetap jadi nyala kecil yang menuntunku pulang ke diriku sendiri
Komentar
Posting Komentar