Hari 6 — Tentang Rasa yang Sulit Kuceritakan ke Siapa-siapa
Ada rasa yang tinggal begitu lama dalam dada.
Bukan karena tak ada yang mau mendengarkan, tapi karena aku sendiri tak tahu harus mulai dari mana.
Rasa ini seperti kabut—lembut, tak terlihat, tapi membuat pandangan jadi samar dan langkah terasa berat.
Tinggal di lingkungan masa lalu suamiku adalah ujian sunyi yang tak banyak orang tahu.
Semua terasa penuh bayang-bayang, sisa cerita yang tak melibatkan aku, tapi aku harus tetap berjalan di dalamnya.
Aku mencoba mengisi ruang itu dengan cinta, dengan ketulusan, dengan merawat dan hadir.
Tapi ada hari-hari di mana aku merasa seperti tamu yang tak benar-benar diundang.
Aku lelah menjadi kuat. Tapi aku juga takut terlihat rapuh.
Maka kutanam semua rasa itu dalam-dalam.
Kadang keluar dalam bentuk diam, kadang dalam tawa yang sedikit dipaksakan, kadang dalam proyek-proyek kecil di dapur atau halaman belakang yang kuanggap sebagai pelarian yang elegan.
Namun diam-diam, aku belajar mengenali diriku sendiri lebih dalam.
Aku belajar membedakan antara luka yang masih berdarah dan luka yang sudah mulai mengering tapi tetap nyeri saat disentuh.
Aku belajar bahwa aku tak harus menjelaskan semuanya ke dunia. Kadang cukup ditulis, cukup dirapikan dalam baris-baris kata, agar aku tahu: aku masih mampu bertahan.
Hari ini, aku menulis bukan untuk didengar. Tapi untuk mengingatkan diriku sendiri,
bahwa rasa yang sulit diucapkan pun punya tempat untuk pulang.
Dan tempat itu, ada di sini — di blog kecil ini, di antara luka dan langkahku yang terus belajar untuk sembuh.
Komentar
Posting Komentar