Postingan

Bantal Basah

malam rebah air tumpah mata sembab diam menunggu tanpa tanya tanpa cemas menyerap diam menyimpan rintih merekam hening tak mengeluh tak bertanya hanya lemas basah peluk kering perih bisu waktu bau garam luka lama masih hangat sisi pipi bekas jejak nyaris hilang kadang peluk kadang tusuk kadang reda bantal tahu saat runtuh dan bangkit bukan pahlawan tapi teman tanpa janji basah hari kering nanti ulang lagi

Titik dan Napas

Diam retak Langit turun Sunyi menggigil Bantal basah Hati sempit Ruang surut Mata redup Langkah goyah Cermin kosong Wajah diam Suara hilang Dada sesak Tirai mengatup Kopi hambar Ranjang dingin Bayang duduk Pintu terpejam Harapan redup Rindu menggumpal Doa menggigil Waktu lamat Sepi menari Angin bicara Hati mengeras Langkah pelan Ruang perih Titik hadir Napas terbit Aku masih Ada di Antara patah Dan tumbuh

🕊️ Selamat Jalan, Murai Terbaik Kami

Hari ini rumah kami lebih sunyi dari biasanya. Tak ada lagi suara kicauan yang memenuhi pagi, tak ada gerakan lincah di balik kerodong yang biasa menggoda rasa bangga kami. Satu murai milik kami — yang paling unggul, paling kami banggakan — telah pergi. Tiba-tiba. Tanpa aba-aba. Semalam masih sehat, masih hidup, pagi ini kami temukan tubuhnya telah tak utuh. Dan hati kami ikut hancur bersama kepergiannya. Murai ini bukan sekadar burung. Ia adalah hasil kerja keras. Hasil ternakan yang kami rawat penuh cinta. Dia menjadi lambang harapan di tengah hidup kami yang kadang penuh luka dan sepi. Dia mewakili semangat kami yang ingin bangkit, dan menjadi pengalihan indah dari semua beban yang kami pikul bersama. Kami tidak tahu pasti penyebab kepergiannya. Tidak ada tanda luka. Tidak ada suara sebelumnya. Mungkin tubuhnya menyerah pada hal-hal yang tak terlihat oleh mata — tekanan, suhu, atau takdir yang datang terlalu cepat. Tapi yang kami tahu pasti adalah ini:   Dia sudah memberi segala...

🌿 Pohon Kecil di Botol Kaca Bekas

Catatan dari rumah duka — tentang kehilangan, tentang hidup yang terus tumbuh, dan tentang filosofi sederhana dari pohon kecil di sudut teras. --- Akhir Pekan di Rumah Duka Hari Minggu kemarin, aku datang takziyah ke rumah teman lama. Ibunya wafat di hari Jumat. Aku baru bisa menyusul dua hari kemudian — satu-satunya hari saat napas bisa ditarik agak panjang dari rutinitas harian yang sesak. Yang datang hanya aku dan satu teman perempuan lainnya. Kami bertiga duduk lama di teras rumah. Tidak banyak kata. Tidak ada basa-basi tentang pekerjaan atau pencapaian. Kami hanya ingin hadir — dan memeluk dalam diam. --- Di Teras Itu, Di Bawah Pepohonan Teras rumah teman kami terasa teduh. Pepohonan di halaman seolah ikut berkabung — diam, tapi tetap memberi naungan. Udara di sana tidak berat. Justru lapang. Seperti memberi ruang untuk bernapas… dan menangis pelan-pelan dalam hati. Teman perempuan kami pandai menghidupkan suasana. Setiap ceritanya ringan dan lucu, dilempar seperti candaan yang ha...

Duhai Mouse Pad Kantor, Ajari Aku Apa Itu Rela

📎 Disclaimer: Tulisan ini mengandung metafora absurd, emosi diam-diam, dan filosofi dari benda mati yang terlalu sabar. Jika kamu sedang lelah tapi tidak bisa marah, mungkin ini bukan sekadar cerita tentang mouse pad. --- Setiap hari aku melihatnya. Mouse pad kantor. Benda kecil, tipis, tak banyak bicara—tapi selalu jadi tempat bersandar. Ia tidak pernah menolak saat ditekan. Tidak melawan ketika digeser. Tidak protes saat dijadikan dudukan gelas kopi, alas memo bekas, atau bahkan tempat tumpahan remah-remah biskuit sisa rapat. Aku duduk di meja ini, memandangi benda itu, dan bertanya dalam hati: “Duhai mouse pad kantor, apakah kamu tahu apa itu rela?” Karena aku sendiri belum tahu. --- Aku sudah belajar ikhlas. Ikhlas menerima hal-hal yang datang tanpa undangan. Yang kadang muncul seperti notifikasi dari aplikasi lama— tak penting, tapi tetap muncul. Ikhlas saat urusan yang seharusnya usai, masih saja muncul dalam bentuk-bentuk baru: seperti file corrupt yang tiba-tiba aktif kembali,...

Kalau Aku Bukan Ibu: Surat Protes Diam-diam dari Seekor Murai

Ditulis dari sela waktu kosong di kantor, di tengah bunyi hujan dan segelas es Good Day cappuccino. Untuk semua perempuan yang menjalani peran tanpa gelar, tapi tetap tegar. “ Ada yang tidak melahirkan, tapi merawat seperti dunia ada di tangannya. Ada yang tak disebut ibu, tapi jadi alas untuk pulang.” --- Jam sudah lewat pukul empat sore. Kantor mulai lengang. Beberapa rekan memilih melanjutkan kerja dari rumah, sebagian sudah pulang sejak makan siang. Aku tetap duduk di meja—bukan karena pekerjaan, tapi karena hatiku belum siap pulang. Di luar, hujan turun perlahan. Rintiknya jatuh di jendela seperti mengetuk, seolah ingin mengajakku bicara. Komputer di depanku masih menyala, namun layar kosong. Aku membuka dokumen baru. Jari-jari ragu mulai mengetik. Tapi ada sesuatu yang perlu dikeluarkan hari ini. Karena aku sedang lelah. Tepatnya, lelah diam-diam. --- Kalau Aku Bukan Ibu… Kalau aku bukan ibu, kenapa aku yang selalu menyiapkan pagi dan memastikan malam tetap tenang? Kalau aku buka...

Kalau Ayam Bakar Bisa Ngobrol, Dia Bakal Kasih Wejangan Apa ke Diriku?

Kadang-kadang, momen refleksi nggak datang dari suasana sepi atau tempat indah. Kadang malah muncul di tengah warung makan sederhana, saat kita lagi sendirian, lapar, dan diem bengong nunggu makanan datang. Hari itu, aku duduk sendiri. Meja warung sederhana, kipas angin yang bunyinya lebih semangat dari pelanggan, dan sepiring ayam bakar panas mengepul di hadapanku. Aromanya menggetarkan iman, bumbunya menggoda, dan asapnya entah kenapa terasa dramatis banget. Di tengah-tengah situasi yang sangat tidak filosofis itu, pikiranku malah berkhayal: “Kalau ayam bakar ini bisa ngomong, dia bakal kasih wejangan apa ke aku?” Dan di luar dugaan, jawabannya muncul di kepalaku seperti bisikan magis dari seekor paha ayam yang sudah melewati banyak proses hidup. Bayangkan: seekor ayam bakar bijak, duduk bersila di atas piring panas, dan siap kasih nasihat hidup. --- “ Sini, Nak. Dengerin Wejangan dari yang Udah Lewat Api.” Si ayam bakar memulai:  "Lo tahu kenapa gue bisa seenak ini? Karena gue ...