Kalau Ayam Bakar Bisa Ngobrol, Dia Bakal Kasih Wejangan Apa ke Diriku?
Kadang-kadang, momen refleksi nggak datang dari suasana sepi atau tempat indah. Kadang malah muncul di tengah warung makan sederhana, saat kita lagi sendirian, lapar, dan diem bengong nunggu makanan datang.
Hari itu, aku duduk sendiri. Meja warung sederhana, kipas angin yang bunyinya lebih semangat dari pelanggan, dan sepiring ayam bakar panas mengepul di hadapanku. Aromanya menggetarkan iman, bumbunya menggoda, dan asapnya entah kenapa terasa dramatis banget.
Di tengah-tengah situasi yang sangat tidak filosofis itu, pikiranku malah berkhayal:
“Kalau ayam bakar ini bisa ngomong, dia bakal kasih wejangan apa ke aku?”
Dan di luar dugaan, jawabannya muncul di kepalaku seperti bisikan magis dari seekor paha ayam yang sudah melewati banyak proses hidup. Bayangkan: seekor ayam bakar bijak, duduk bersila di atas piring panas, dan siap kasih nasihat hidup.
---
“Sini, Nak. Dengerin Wejangan dari yang Udah Lewat Api.”
Si ayam bakar memulai:
"Lo tahu kenapa gue bisa seenak ini? Karena gue udah direndam dulu. Dibumbuin lama. Sabar dalam diam. Lo juga gitu, kan? Udah sering banget direndam dalam situasi yang nggak jelas, dibumbuin oleh omongan orang, ekspektasi, dan beban yang bukan milik lo sepenuhnya."
Aku diem. Mulai merasa ini bukan cuma soal makanan.
Karena jujur aja, rasanya relate.
Tahun-tahun terakhir ini aku sering merasa kayak ayam rendaman. Sabar, diem, nurut, ikut arus. Kadang disalahpahami, kadang cuma jadi pelengkap. Bahkan ketika sudah memberi, yang diterima balik cuma diam, tuntutan, atau... ya, permintaan lagi.
Si ayam bakar melanjutkan ceramahnya.
"Tapi itu belum cukup. Habis di rendem, gue dibakar. Lama. Api kecil tapi panasnya konsisten. Lo ngerti maksud gue, kan? Sakit sih, tapi justru di situ rasa gue keluar. Kalau lo lagi ngerasa kayak 'dibakar' kehidupan, itu bukan buat nyiksa lo. Itu bagian dari ngeluarin rasa yang lo punya."
Dan ya, aku ngerti.
Kadang aku capek. Bukan cuma karena beban hidup, tapi juga karena ketidakjelasan. Harus jadi kuat meski nggak ada yang nanya, "Kamu baik-baik aja nggak?" Harus tetap berdiri walau sebenarnya ingin istirahat sebentar.
Tapi sekarang aku tahu, itu bukan sia-sia. Aku sedang “diproses”—kayak ayam bakar itu. Pelan, sabar, tapi akhirnya mateng.
“Lo Layak Hadir Utuh.”
Si ayam bakar belum selesai.
"Gue disajiin lengkap. Ada kulit, daging, tulang. Gue nggak dipotong-potong buat nyenengin semua orang. Lo juga gitu. Nggak perlu buang bagian dari diri lo cuma buat diterima. Lo layak hadir sebagai lo yang utuh—dengan kekurangan dan kelebihan lo, dengan luka dan tawa lo."
Dan di titik itu, aku mulai berkaca-kaca.
Karena sering banget aku merasa harus potong diri sendiri. Harus jadi versi yang orang lain mau. Harus terlihat baik-baik aja, harus ngalah, harus kuat, harus diem… harus terus berusaha supaya diterima.
Padahal, jadi diri sendiri itu cukup.
Dan seperti ayam bakar tadi, yang utuh justru lebih berharga.
---
Ayam Bakar, Aku Siap Matang
Sebelum potongan terakhir masuk ke mulutku, ayam bakar itu bilang:
“Lo nggak harus cepet. Yang penting mateng. Nggak gosong, nggak setengah-setengah. Dan lo bakal punya rasa yang orang lain bakal inget. Bukan karena lo sempurna, tapi karena lo punya cerita.”
Hari itu, aku bukan cuma makan. Aku belajar.
Dari ayam bakar.
---
Catatan Jurnal Hari Ini:
Aku mungkin lagi ada di fase ‘dibakar’. Tapi itu bukan akhir. Itu proses. Dan aku tahu, di balik rasa capek dan bingung ini, aku sedang dibentuk. Mungkin nggak semua orang lihat, tapi bukan berarti nggak berharga.
Seperti ayam bakar: setelah melalui proses panjang, dia jadi istimewa.
---
Jadi, kalau hari ini kamu lagi lelah, lagi ngerasa dibakar kehidupan, ingat ini:
"Ayam bakar aja sabar dibumbuin dan dibakar sampai mateng. Masa kamu nggak bisa?"
🙂🍗🔥
---
Terima kasih sudah mampir ke blog ini. Semoga kamu bisa menikmati rasa dari setiap proses hidupmu—bahkan yang paling panas sekalipun.
Sampai ketemu di cerita berikutnya. ✨
Komentar
Posting Komentar