Duhai Mouse Pad Kantor, Ajari Aku Apa Itu Rela
📎 Disclaimer:
Tulisan ini mengandung metafora absurd, emosi diam-diam, dan filosofi dari benda mati yang terlalu sabar.
Jika kamu sedang lelah tapi tidak bisa marah, mungkin ini bukan sekadar cerita tentang mouse pad.
---
Setiap hari aku melihatnya.
Mouse pad kantor.
Benda kecil, tipis, tak banyak bicara—tapi selalu jadi tempat bersandar.
Ia tidak pernah menolak saat ditekan.
Tidak melawan ketika digeser.
Tidak protes saat dijadikan dudukan gelas kopi, alas memo bekas,
atau bahkan tempat tumpahan remah-remah biskuit sisa rapat.
Aku duduk di meja ini, memandangi benda itu, dan bertanya dalam hati:
“Duhai mouse pad kantor, apakah kamu tahu apa itu rela?”
Karena aku sendiri belum tahu.
---
Aku sudah belajar ikhlas.
Ikhlas menerima hal-hal yang datang tanpa undangan.
Yang kadang muncul seperti notifikasi dari aplikasi lama—
tak penting, tapi tetap muncul.
Ikhlas saat urusan yang seharusnya usai,
masih saja muncul dalam bentuk-bentuk baru:
seperti file corrupt yang tiba-tiba aktif kembali,
atau popup dari sistem lama yang belum sempat di-uninstall.
Ikhlas saat namaku tak disebut dalam percakapan penting,
saat keberadaanku tak cukup "perlu" untuk ditanyakan kabarnya.
Ikhlas menahan penjelasan, karena tahu:
kadang bukan karena tak bisa dijelaskan—tapi karena memang tidak ingin dimengerti.
Tapi rela?
Rela itu sesuatu yang berbeda.
Rela adalah saat kamu berhenti berharap ada pembelaan
di tengah kerumunan yang mengerutkan dahi padamu.
Rela adalah ketika kamu tidak lagi berusaha membuat orang lain mengerti
betapa sakitnya kamu—karena kamu tahu, kalau memang peduli,
mereka pasti sudah peka sejak awal.
---
Mouse pad itu,
tetap tinggal di tempatnya,
meski tahu dirinya bukan layar utama.
Bukan kursi empuk yang bisa berdecit saat ditinggal.
Bukan keyboard yang sering dipuji karena responsif.
Ia hanya alas.
Tapi tetap penting.
Tetap ada.
Dan mungkin,
aku pun sering merasa seperti itu di tempat aku seharusnya paling diterima.
Diam, tapi menopang.
Tidak terlihat, tapi menjaga alur tetap berjalan.
Tidak disebut, tapi selalu ada.
Seperti ritme latar belakang yang tidak pernah diminta tampil,
tapi kalau hilang… semuanya jadi kacau tanpa alasan yang jelas.
Kadang rasanya ingin bersuara.
Tapi suara lelah jarang didengar.
Dan diam terasa lebih masuk akal…
daripada menjelaskan sesuatu yang tidak pernah dianggap nyata.
---
Aku menoleh ke mouse pad itu,
dan seolah dia membisikkan sesuatu:
"Rela itu bukan berarti kamu tidak terluka.
Tapi kamu memilih untuk tidak menambahkan luka yang sama ke dirimu setiap hari."
"Rela itu bukan berhenti peduli.
Tapi mulai peduli pada dirimu sendiri lebih dulu."
“Rela itu bukan kalah. Tapi tahu kapan kamu perlu mundur,
agar hatimu punya ruang untuk sembuh.”
Dan tiba-tiba, aku merasa…
tak apa-apa menjadi seperti mouse pad.
Yang tidak selalu harus di-notice.
Tapi tahu tempatnya.
Tahu perannya.
Dan tahu kapan harus diam,
tanpa kehilangan dirinya sendiri.
---
📌 Catatan Kecil dari Meja Kerja:
Aku belum sepenuhnya rela.
Tapi aku sedang menuju ke sana.
Dan hari ini, mouse pad kantor jadi guruku yang tak bersuara.
Bukan lewat motivasi,
tapi lewat diamnya yang setia.
Yang pasrah, tapi tidak menyerah.
Yang lembut, tapi tidak lemah.
---
🖇️ Kamu juga sedang belajar rela?
Mungkin kita bisa mulai bareng.
Bukan dengan kata-kata besar,
tapi dengan satu bisikan kecil:
“Hari ini aku tidak harus sempurna.
Tapi aku bisa tetap ada… untuk diriku sendiri.”
Komentar
Posting Komentar