Kalau Aku Bukan Ibu: Surat Protes Diam-diam dari Seekor Murai

Ditulis dari sela waktu kosong di kantor, di tengah bunyi hujan dan segelas es Good Day cappuccino.
Untuk semua perempuan yang menjalani peran tanpa gelar, tapi tetap tegar.

Ada yang tidak melahirkan, tapi merawat seperti dunia ada di tangannya.
Ada yang tak disebut ibu, tapi jadi alas untuk pulang.”




---

Jam sudah lewat pukul empat sore. Kantor mulai lengang. Beberapa rekan memilih melanjutkan kerja dari rumah, sebagian sudah pulang sejak makan siang. Aku tetap duduk di meja—bukan karena pekerjaan, tapi karena hatiku belum siap pulang.

Di luar, hujan turun perlahan. Rintiknya jatuh di jendela seperti mengetuk, seolah ingin mengajakku bicara. Komputer di depanku masih menyala, namun layar kosong. Aku membuka dokumen baru. Jari-jari ragu mulai mengetik. Tapi ada sesuatu yang perlu dikeluarkan hari ini.

Karena aku sedang lelah.
Tepatnya, lelah diam-diam.


---

Kalau Aku Bukan Ibu…

Kalau aku bukan ibu, kenapa aku yang selalu menyiapkan pagi dan memastikan malam tetap tenang?

Kalau aku bukan ibu, kenapa aku yang terus mengisi yang kosong, bahkan saat tak ada yang meminta?

Aku tak punya ruang bersalin. Tak ada nama yang memanggilku “ibu” secara resmi. Tapi aku menjaga rumah agar tetap hangat. Aku tahu persis bagaimana menyusun belanja dengan cermat, menyisihkan cukup agar rumah tetap menyala, bahkan saat dompet tak bersahabat.

Aku tahu, karena aku ada di sana—menjaga agar semuanya tidak runtuh.


---

Tentang Rasa yang Sempat Tak Terucap

Aku pernah merasa kalah.
Bukan karena iri pada yang lain, tapi karena merasa tak diakui oleh apa pun.

Aku belum diberi kesempatan mengandung oleh semesta. Tapi aku hadir untuk rumah yang sempat kehilangan segalanya. Aku menopang lelaki yang pernah disisihkan bahkan oleh miliknya sendiri. Aku tak menggantikan siapa-siapa, tapi aku memilih tinggal—saat yang lain pergi.

Dan tetap saja, rasa sedih itu kadang datang.
Karena yang menerima rasa sayangku… belum tentu memanggilku.
Karena aku selalu ikut sedih, tapi tidak pernah diajak bicara.
Karena aku selalu sedia, tapi kadang tak dipandang sebagai jiwa—hanya peran yang bisa diandalkan.


---

Lalu Murai Itu Berkicau

Di rumah, ada beberapa ekor murai. Bukan sembarang burung. Ia adalah simbol luka yang kami rawat bersama. Suamiku mulai merawat murai sejak semua yang dimilikinya hilang. Burung-burung itu, secara ajaib, membuat matanya kembali berbinar.

Sore kemarin, seekor murai berkicau nyaring. Bukan sekadar panggilan biasa, tapi seperti protes. Aku berdiri di depan kandangnya, dan dalam diam, aku merasa si murai sedang menatapku dan berkata:

 “Kalau kamu bukan ibu, lalu siapa yang merawat kami semua ketika tak ada yang tersisa?”



Aku terdiam. Lalu tersenyum kecil.
Mungkin benar.
Aku belum menjadi “ibu” dalam arti umum. Tapi aku adalah penjaga, penyambung, dan perawat yang diam-diam menegakkan rumah ini.

Aku belum punya gelar, tapi aku punya kehadiran.
Dan itu cukup untuk hari ini.


---

Terima Kasih, Karena Tetap Memanggilku Ibu

Suamiku terpaut usia cukup jauh dariku. Tapi sejak awal kami hidup bersama, ia tak pernah ragu memanggilku “ibu.”
Bukan karena usia.
Bukan karena formalitas.
Tapi karena mungkin—ia melihat rumah dalam cara aku merawat.

Terima kasih, untuk panggilan yang menguatkan itu.
Di tengah dunia yang kadang meragukan, panggilan itu adalah pengakuan paling sunyi, tapi paling berarti.


---

Menerima dengan Cara yang Paling Lembut

Aku pernah mencoba menjadi kuat tanpa suara.
Kini aku tahu, tidak semua kekuatan harus sunyi.
Ada kalanya aku juga boleh lelah.
Boleh mengakui bahwa aku ingin dianggap.
Bahwa aku ingin disayang, tidak hanya saat dibutuhkan.

Tapi hingga saat itu tiba, aku memilih untuk tetap hidup dengan sadar.
Aku mencatat jejakku di blog ini.
Menanam cabai, menyiram daun pandan.
Merawat murai. Menyimpan receh koin.
Menulis di sela jam kantor sambil menatap hujan.

Karena aku tahu… sekalipun bukan ibu,
aku tetap tumbuh, dan menumbuhkan.


---

“Tidak semua yang merawat harus punya gelar.
Tidak semua yang menyayangi harus punya panggilan.
Tapi mereka tahu... rumah akan tetap hidup karena seseorang diam-diam menjaganya.”



Jakarta, dari balik layar kerja,
dengan kopi dingin dan hati yang tetap hangat.
🕊️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari 2 — Satu Tempat yang Membekas di Hati

Halo, Ini Aku

Hari 1 - Mengapa aku menulis