Pewaris Atau Perintis?
Tulisan ini lahir dari ruang dengar dan diam, setelah menyimak sebuah podcast tentang pewaris dan perintis—sebuah refleksi tentang bentuk cinta yang tak selalu memiliki peta, namun tetap layak dijalani.
---
Beberapa waktu lalu, sebuah podcast membuka ruang renung dalam benak saya.
Topiknya sederhana: tentang pewaris dan perintis.
Namun, dalam kesederhanaannya, ia mengetuk sisi kehidupan yang jarang dibicarakan—
tentang menjadi pasangan hidup tanpa anak sebagai pengikat arah.
Di banyak rumah, kehadiran anak adalah benang merah yang menyatukan dua insan dalam satu sistem kerja sama.
Tanpa perlu banyak diskusi, hadir kewajiban yang mengikat, peran yang otomatis terbentuk, dan tujuan yang secara alami terarah.
Suami menjadi ayah. Istri menjadi ibu.
Dan cinta pun menemukan jalannya di sela-sela rutinitas membesarkan masa depan.
Namun, bagaimana jika rumah itu sunyi?
Tanpa tangis bayi, tanpa jadwal antar-jemput sekolah, tanpa daftar kebutuhan yang menuntut dipenuhi?
Yang tersisa hanyalah dua orang dewasa
yang terus memilih satu sama lain—
bukan karena dorongan kewajiban,
melainkan karena kesadaran yang tumbuh setiap hari.
Inilah pernikahan yang sunyi, tapi jernih.
Yang tidak memiliki warisan dari sistem sosial.
Yang tidak bisa berjalan dengan autopilot,
karena tak ada suara anak yang secara alami mengarahkan langkah ke depan.
Di ruang ini, seseorang belajar menjadi perintis.
Bukan perintis bisnis, bukan pula karier,
melainkan perintis dalam menciptakan makna baru dari kebersamaan.
Menumbuhkan cinta yang tak bersandar pada gelar sebagai ibu atau ayah,
melainkan pada dua hati yang terus belajar memahami—
meski kadang terluka, meski sering bertanya-tanya.
Ada ruang diam yang sesekali menyelipkan rasa:
rasa belum mampu.
Bukan karena tak berusaha,
melainkan karena waktu belum mengizinkan.
Belum mampu menghadirkan kembali gelar "ayah" dalam keseharian kami.
Gelar yang pernah melekat erat dalam hidupnya yang dulu,
dan kini seolah menanti panggilan baru yang belum juga tiba.
Namun, tidak ada ratapan di sini.
Hanya kesadaran—
bahwa cinta tak selalu tumbuh karena peran yang diberikan,
melainkan karena pilihan yang diperbarui dari hari ke hari.
Kadang terasa asing.
Kadang menyesakkan,
saat melihat pasangan lain tampak lebih "terarah".
Namun di sela keheningan itu, perlahan tumbuh rasa syukur:
bahwa kami masih diberi kesempatan untuk saling memilih,
saling tumbuh,
dan saling pulang.
Bahwa rumah bukan hanya tempat tawa anak-anak,
tapi juga tempat dua orang dewasa berani diam bersama—
tanpa kehilangan makna.
Dan barangkali, perintis seperti ini—
yang tak menjadi ibu atau ayah dalam arti umum—
sedang membangun ruang kasih yang tak kalah tulusnya.
Bukan untuk membesarkan anak,
tapi untuk melahirkan versi terbaik dari dirinya sendiri,
bersama seseorang yang tetap tinggal,
meski dunia tak menyediakan jalur warisan untuk dilewati.
Sebab tak semua cinta diwariskan.
Sebagian harus dipelopori.
Dan di ruang sunyi yang kami bangun berdua,
cinta itu tetap tumbuh—
dengan cara yang mungkin tak semua orang pahami,
tapi cukup untuk kami syukuri.
Komentar
Posting Komentar