Bukit yang Menyimpan Rahasia

Ada tempat-tempat tertentu di dunia ini yang terasa seperti ruang terapi gratis. Tidak ada sofa empuk, tidak ada konselor bersertifikat—hanya hamparan alam yang diam, menerima, dan membiarkanmu membuang beban sedikit demi sedikit.

Bagi kami, malam itu, tempat itu bernama Bukit Hambalang.

Bukit ini semalam terasa seperti telinga tua yang sabar. Kami datang dengan hati yang penuh racun: keluhan yang selama ini hanya berkutat di kepala, marah yang tak pernah sempat benar-benar dikeluarkan, juga lelah yang sudah menumpuk bertahun-tahun.

Dan bukit hanya diam. Tidak menyela. Tidak menghakimi. Ia berdiri di sana, menunggu, seolah sudah terlalu sering menjadi tempat pelarian manusia yang kehabisan ruang untuk menangis.


---

Makan Malam yang Sebenarnya Bukan Makan Malam

Kami duduk di kursi kayu yang sedikit goyah, menunggu makanan datang dari warung kecil di tepi bukit. Angin malam datang pelan-pelan, meniup rambut, membawa aroma tanah basah yang samar. Dingin, tapi bukan dingin yang mengusir—dingin yang justru membuat kami merasa lebih hidup.

Percakapan dimulai ringan, seperti basa-basi orang lapar. Tapi perlahan, kata-kata pahit yang selama ini kami simpan mulai keluar, satu per satu, seperti air yang akhirnya menemukan celah pada retakan batu.

Sebenarnya, malam itu kami tidak benar-benar makan. Yang kami hidangkan di meja kayu bukan ayam goreng atau nasi hangat, melainkan keluhan-keluhan yang selama ini membusuk di dada.

Dan bukit mendengarkan.
Anginnya seperti sengaja datang lebih sering malam itu, seolah berkata:
“Biar aku yang membawa pergi sebagian racunmu.”


---

Lampu Kota yang Pura-Pura Tidak Peduli

Saat menatap ke bawah, lampu-lampu kota terlihat seperti bintang yang jatuh ke tanah. Mereka berkedip pelan, seperti mata-mata kecil yang pura-pura tidak peduli. Dalam khayalku, lampu-lampu itu sedang berkata:
“Tenang saja, rahasiamu aman di sini. Kami tidak akan menyebarkannya.”

Ada rasa lega aneh ketika membayangkan keluhan yang kami ucapkan malam itu benar-benar hilang begitu saja, terbang bersama angin, jatuh ke tanah, dan kemudian diserap oleh akar-akar pohon.

Mungkin keluhan kami sekarang sudah terkubur di tanah bukit yang tebal, tersimpan bersama ribuan rahasia manusia lainnya—rahasia orang-orang asing yang mungkin juga pernah duduk di kursi kayu yang sama, mengeluh hal yang sama, lalu pulang dengan hati yang sedikit lebih ringan.


---

Turun Bukit dengan Hati yang Lebih Ringan

Malam semakin larut. Warung mulai membereskan piring-piring, tanda kami harus pulang. Tapi anehnya, langkah kami terasa lebih ringan meskipun masalah belum selesai.

Hati kami memang belum sepenuhnya bersih, tapi setidaknya… sebagian racun sudah kami tinggalkan di sana.

Angin bukit malam itu, entah bagaimana caranya, berhasil mengambil sedikit beban yang selama ini menekan dada.

Dan aku sadar, mungkin memang begitulah cara bukit menyembuhkan: dengan diam.

Bukit tidak pernah menjanjikan solusi, tidak pernah memberi jawaban, tapi ia selalu punya ruang untuk kita yang datang dengan hati penuh luka.


---

Tentang Perjalanan yang Sebenarnya Perjalanan Batin

Banyak orang datang ke Bukit Hambalang untuk menikmati pemandangan kota dari ketinggian atau sekadar mencari tempat nongkrong yang berbeda. Tapi malam itu, perjalanan kami ke bukit terasa seperti perjalanan batin.

Kadang kita hanya butuh tempat yang cukup sepi untuk mendengar suara sendiri. Butuh udara malam yang dingin untuk mengingatkan bahwa kita masih bernapas. Dan butuh sepotong sunyi agar kita bisa benar-benar jujur pada diri sendiri.

Kami pulang tanpa membawa apa-apa—kecuali hati yang sedikit lebih tenang, dan keyakinan bahwa esok akan tetap bisa dihadapi, walau pelan-pelan.

Bukit Hambalang mungkin hanya sebuah bukit kecil di peta, tapi bagi kami, ia seperti sahabat tua yang setia: menyimpan rahasia, dan tidak pernah mengungkitnya lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hari 2 — Satu Tempat yang Membekas di Hati

Halo, Ini Aku

Hari 1 - Mengapa aku menulis